Minggu, 23 September 2012

people

 nama: ajan
tinggal: kampung rinjani [sekarang]
asal: banda eli

nama: duta
tinggal: kampung rinjani [sekarang]
hobi: sekarang lagi doyan kesekolah. karna baru kelas satu SD.

tamu peneror


“Tamu peneror”
26 syawal 1433
13 september 2012. 

Semalam sempat kita bahas tentang seorang lelaki yang sering di sebut company datang kekampung rinjani. Ia memiliki sanak saudara di sini dan sempat tinggal beberapa lama di kampung kami. Perangainya agak labil, beberapa orang mengatakan bahwa ia mendalami sebuah ilmu dan tubuh serta pikirannya terganggu karna tak mampu menerima ilmu tersebut. Saya sendiri belum sempat melihatnya, maklumlah saya jarang berada di rumah. Pagi ke kampus sampai siang, lalu lanjut tidur siang, sholat dan baru ada di waktu sore menjelang. Mana sempat saya mengenalnya atau menyisikan waktu untuk berbincang dengan compeny.

Saya bingung mengapa banyak dari kita malah menutup pintu rumah saat ia “konon” hendak lewat di depan rumah. Bukankah dengan bersikap seperti itu siapa pun akan merasa terasingkan dengan perlakuan lingkungan yang seolah menganggapnya mengidap unsur-unsur kesetanan dan di kelilingi hawa ke burukan sertakejahatan!. Orang baik pun akan menjadi jahat bilamana masyarakat mengahakiminya seperti itu. Sebaliknya kita menganggapnya baik-baiksaja, bukan sebagai seorang penyakitan, kalau perlu anggaplah kampong rinjani ini sebagai sebuah tempat  yang  mampu mengobati orang semacam company dengan menunjukkan sikap apa adanya serta menghormati bahwasanya ia sedang dalam masa pemulihan dari sakit yang akut.

Dan sayapikir image pada company sebagai tamu peneror  yang membawa sebilah parang adalah seorang  yang  hendak berkebun. Anggaplah demikian –agar kita tidak risau hidup berdampingan dengannya.  Apalagi kabarnya, ia sempat  bekerja di pelabuhan.  Itu artinya ia bias hidup dengan  orang lain.  Kenapa dengan kita tidak bisa.

@damai di kampung.
@bilalrevolusi.blogspot.com

Senin, 10 September 2012

tanah liat


“tanah liat”
Ambon, 25 agustus 2012.

Dunia anak-anak nggak bisa dilepas dengan dunia bermain, meski nggak semua yang namanya bermain identik dengan anak –anak. Dibelakang rumah saya terdapat kali kecil yang mengalir air dari bukit-bukit. Tempat ini menjadi areal favorit anak-anak.
Pangeran, azwar, Ramadan, pita, duta dan buang, adalah nama-nama yang sedang bermain air dan tanah liat di siang yang terik. Kegembiraan begitu terlihat dari mata-mata mereka yang sangat polos. Namanya juga anak-anak, segalanya bisa jadi asik dan bisa dijadikan permainan, tanah liat misalnya.  Saya amat mendukung mereka bermain. Yah, nama juga anak-anak dunia mereka dunia bermain. Cuma, masalahnya adalah bagaimana kita meliat mereka bermain. Terkadang perkelahian dan cekcok karna miscomunicasi semua hal bisa saja terjadi.
Saya membanyangkan kalau mereka-meraka yang main tanah liat itu kelak bisa jadi seniman-seniman hebat pernah ada. Para seniman kelas atas juga bisa jadi kehidupan mereka berawal dari main tanah liat, tapi seiring waktu berjalan para seniman yang hebat-hebat itu menjadi tanah liat sebagai sumber pendapatan buat mencukupi kehidupan mereka. Saya berharap, mereka-mereka yang main tanah liat dibelakang rumah saya ini pun kelak bisa jadi seniman besar. Bagi saya mimpi boleh saja kan! Selama mimpi masih gratis, toh tetap aja bermimpi.

@bilalrevolusi

nama yang menghilang


“Nama yang menghilang”
Kisah paling sendu untuk anak manusia adalah kisah tentang kematian. Semua orang pastinya akan menguburkan diri pada makam berukuran sempit yang ditaburi bunga diatas makam. Kematian kita ditangisi banyak orang, terlebih yang mengenal kita.
Saya masih ingat bagaimana Upi bercerita tentang masa kecilnya, disuatu malam saat ba’da magrib dikampung rinjani. Dan masih ingat celetuk-celetukannya yang membuat saya senyum-senyum. Semua itu hanya tinggal ingatan yang sekeder melintas doang. Sekarang Upi sudah tiada. Ia karam dengan kapal yang membawanya ke ambon. Kapalnya dihantam gelombang dan hanya beberapa orang saja yang selamat dari tragedi itu.
Bagi saya, kita pun akan menghadap maut. Cuma cara dan waktu saja yang berbeda-beda. Upi dan penumpang lainnya telah dituliskan cara dan waktu mautnya menjemput mereka. Sekarang tinggal kita yang seharusnya beramal, siapa tahu besok-besok kita yang dijemput kematian.
@bilal,